Sunday, August 9, 2009

Pemerolehan Bahasa Pertama

1. Proses Pemerolehan Bahasa Pertama

Pemerolehan bahasa atau akuisisi bahasa adalah proses yang berlangsung di dalam otak kanak-kanak ketika dia memperoleh bahasa pertamanya atau bahasa ibunya. Pemerolehan bahasa biasanya dibedakan dengan pembelajaran bahasa. Pembelajaran bahasa berkaitan dengan proses-proses yang terjadi pada waktu seorang kanak-kanak mempelajari bahasa kedua setelah dia memperoleh bahasa pertamanya. Jadi, pemerolehan bahasa berkenaan dengan bahasa pertama, sedangkan pembelajaran bahasa berkenaan dengan bahasa kedua (Chaer, 2003:167).

Selama pemerolehan bahasa pertama, Chomsky menyebutkan bahwa ada dua proses yang terjadi ketika seorang kanak-kanak memperoleh bahasa pertamanya. Proses yang dimaksud adalah proses kompetensi dan proses performansi. Kedua proses ini merupakan dua proses yang berlainan. Kompetensi adalah proses penguasaan tata bahasa (fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik) secara tidak disadari. Kompetensi ini dibawa oleh setiap anak sejak lahir. Meskipun dibawa sejak lahir, kompetensi memerlukan pembinaan sehingga anak-anak memiliki performansi dalam berbahasa. Performansi adalah kemampuan anak menggunakan bahasa untuk berkomunikasi. Performansi terdiri dari dua proses, yaitu proses pemahaman dan proses penerbitan kalimat-kalimat. Proses pemahaman melibatkan kemampuan mengamati atau mempersepsi kalimat-kalimat yang didengar, sedangkan proses penerbitan melibatkan kemampuan menghasilkan kalimat-kalimat sendiri (Chaer 2003:167).

Selanjutnya, Chomsky juga beranggapan bahwa pemakai bahasa mengerti struktur dari bahasanya yang membuat dia dapat mengkreasi kalimat-kalimat baru yang tidak terhitung jumlahnya dan membuat dia mengerti kalimat-kalimat tersebut. Jadi, kompetensi adalah pengetahuan intuitif yang dipunyai seorang individu mengenai bahasa ibunya (native languange). Intuisi linguistik ini tidak begitu saja ada, tetapi dikembangkan pada anak sejalan dengan pertumbuhannya, sedangkan performansi adalah sesuatu yang dihasilkan oleh kompetensi.

Hal yang patut dipertanyakan adalah bagaimana strategi si anak dalam memperoleh bahasa pertamanya dan apakah setiap anak memiliki strategi yang sama dalam memperoleh bahsa pertamanya? Berkaitan dengan hal ini, Dardjowidjojo, (2005:243-244) menyebutkan bahwa pada umumnya kebanyakan ahli kini berpandangan bahwa anak di mana pun juga memperoleh bahasa pertamanya dengan memakai strategi yang sama. Kesamaan ini tidak hanya dilandasi oleh biologi dan neurologi manusia yang sama, tetapi juga oleh pandangan mentalistik yang menyatakan bahwa anak telah dibekali dengan bekal kodrati pada saat dilahirkan. Di samping itu, dalam bahasa juga terdapat konsep universal sehingga anak secara mental telah mengetahui kodrat-kodrat yang universal ini. Chomsky mengibaratkan anak sebagai entitas yang seluruh tubuhnya telah dipasang tombol serta kabel listrik: mana yang dipencet, itulah yang akan menyebabkan bola lampu tertentu menyala. Jadi, bahasa mana dan wujudnya seperti apa ditentukan oleh input sekitarnya.

2. Tahap-tahap Pemerolehan Bahasa Pertama

Perlu untuk diketahui adalah seorang anak tidak dengan tiba-tiba memiliki tata bahasa B1 dalam otaknya dan lengkap dengan semua kaidahnya. B1 diperolehnya dalam beberapa tahap dan setiap tahap berikutnya lebih mendekati tata bahasa dari bahasa orang dewasa. Menurut para ahli, tahap-tahap ini sedikit banyaknya ada ciri kesemestaan dalam berbagai bahasa di dunia.

Pengetahuan mengenai pemerolehan bahasa dan tahapnya yang paling pertama di dapat dari buku-buku harian yang disimpan oleh orang tua yang juga peneliti ilmu psikolinguistik. Dalam studi-studi yang lebih mutakhir, pengetahuan ini diperoleh melalui rekaman-rekaman dalam pita rekaman, rekaman video, dan eksperimen-eksperimen yang direncanakan. Ada sementara ahli bahasa yang membagi tahap pemerolehan bahasa ke dalam tahap pralinguistik dan linguistik. Akan tetapi, pendirian ini disanggah oleh banyak orang yang berkata bahwa tahap pralinguistik itu tidak dapat dianggap bahasa yang permulaan karena bunyi-bunyi seperti tangisan dan rengekan dikendalikan oleh rangsangan (stimulus) semata-mata, yaitu respons otomatis anak pada rangsangan lapar, sakit, keinginan untuk digendong, dan perasaan senang. Oleh karena itu, tahap-tahap pemerolehan bahasa yang dibahas dalam makalah ini adalah tahap linguistik yang terdiri atas beberapa tahap, yaitu (1) tahap pengocehan (babbling); (2) tahap satu kata (holofrastis); (3) tahap dua kata; (4) tahap menyerupai telegram (telegraphic speech).

2.1 Vokalisasi Bunyi

Pada umur sekitar 6 minggu, bayi mulai mengeluarkan bunyi-bunyi dalam bentuk teriakan, rengekan, dekur. Bunyi yang dikeluarkan oleh bayi mirip dengan bunyi konsonan atau vokal. Akan tetapi, bunyi-bunyi ini belum dapat dipastikan bentuknya karena memang belum terdengar dengan jelas. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah bunyi-bunyi yang dihasilkan tadi merupakan bahasa? Fromkin dan Rodman (1993:395) menyebutkan bahwa bunyi tersebut tidak dapat dianggap sebagai bahasa. Sebagian ahli menyebutkan bahwa bunyi yang dihasilkan oleh bayi ini adalah bunyi-bunyi prabahasa/dekur/vokalisasi bahasa/tahap cooing.

Setelah tahap vokalisasi, bayi mulai mengoceh (babling). Celoteh merupakan ujaran yang memiliki suku kata tunggal seperti mu dan da. Adapun umur si bayi mengoceh tak dapat ditentukan dengan pasti. Mar’at (2005:43) menyebutkan bahwa tahap ocehan ini terjadi pada usia antara 5 dan 6 bulan. Dardjowidjojo (2005: 244) menyebutkan bahwa tahap celoteh terjadi sekitar umur 6 bulan. Tidak hanya itu. ada juga sebagian ahli menyebutkan bahwa celoteh terjadi pada umur 8 sampai dengan 10 bulan. Perbedaan pendapat seperti ini dapat saja. Yang perlu diingat bahwa kemampuan anak berceloteh tergantung pada perkembangan neurologi seorang anak.

Pada tahap celoteh ini, anak sudah menghasilkan vokal dan konsonan yang berbeda seperti frikatif dan nasal. Mereka juga mulai mencampur konsonan dengan vokal. Celotehan dimulai dengan konsonan dan diikuti dengan vokal. Konsonan yang keluar pertama adalah konsonan bilabial hambat dan bilabial nasal. Vokalnya adalah /a/. dengan demikian, strukturnya adalah K-V. Ciri lain dari celotehan adalah pada usia sekitar 8 bulan, stuktur silabel K-V ini kemudian diulang sehingga muncullah struktur seperti:

K1 V1 K1 V1 K1 V1…papapa mamama bababa…

Orang tua mengaitkan kata papa dengan ayah dan mama dengan ibu meskipun apa yang ada di benak tidaklah kita ketahui. Tidak mustahil celotehan itu hanyalah sekedar artikulatori belaka (Djardjowidjojo, 2005:245).

Begitu anak melewati periode mengoceh, mereka mulai menguasai segmen-segmen fonetik yang merupakan balok bangunan yang dipergunakan untuk mengucapkan perkataan. Mereka belajar bagaimana mengucapkan sequence of segmen, yaitu silabe-silabe dan kata-kata. Cara anak-anak mencoba menguasai segmen fonetik ini adalah dengan menggunakan teori hypothesis-testing (Clark & Clark dalam Mar’at 2005:43). Menurut teori ini anak-anak menguji coba berbagai hipotesis tentang bagaimana mencoba memproduksi bunyi yang benar.

Pada tahap-tahap permulaan pemerolehan bahasa, biasanya anak-anak memproduksi perkataan orang dewasa yang disederhanakan sebagai berikut:

(1) menghilangkan konsonan akhir

blumen bu

boot bu

(2) mengurangi kelompok konsonan menjadi segmen tunggal:

batre bate

bring bin

(3) menghilangkan silabel yang tidak diberi tekanan

kunci ti

semut emut

(4) reduplikasi silabel yang sederhana

pergi gigi

nakal kakal

Menurut beberapa hipotesis, penyederhanaan ini disebabkan oleh memory span yang terbatas, kemampuan representasi yang terbatas, kepandaian artikulasi yang terbatas (Mar’at 2005:46-47).

Apakah tahap celoteh ini penting bagi si anak. Jawabannya tentu saja penting. Tahap celoteh ini penting artinya karena anak mulai belajar menggunakan bunyi-bunyi ujaran yang benar dan membuang bunyi ujaran yang salah. Dalam tahap ini anak mulai menirukan pola-pola intonasi kalimat yang diucapkan oleh orang dewasa.

2.2 Tahap Satu-Kata atau Holofrastis

Tahap ini berlangsung ketika anak berusia antara 12 dan 18 bulan. Ujaran-ujaran yang mengandung kata-kata tunggal diucapkan anak untuk mengacu pada benda-benda yang dijumpai sehari-hari. Pada tahap ini pula seorang anak mulai menggunakan serangkaian bunyi berulang-ulang untuk makna yang sama. pada usia ini pula, sang anak sudah mengerti bahwa bunyi ujar berkaitan dengan makna dan mulai mengucapkan kata-kata yang pertama. Itulah sebabnya tahap ini disebut tahap satu kata satu frase atau kalimat, yang berarti bahwa satu kata yang diucapkan anak itu merupakan satu konsep yang lengkap, misalnya “mam” (Saya minta makan); “pa” (Saya mau papa ada di sini), “Ma” (Saya mau mama ada di sini).

Mula-mula, kata-kata itu diucapkan anak itu kalau rangsangan ada di situ, tetapi sesudah lebih dari satu tahun, “pa” berarti juga “Di mana papa?” dan “Ma” dapat juga berarti “Gambar seorang wanita di majalah itu adalah mama”.

Menurut pendapat beberapa peneliti bahasa anak, kata-kata dalam tahap ini mempunyai tiga fungsi, yaitu kata-kata itu dihubungkan dengan perilaku anak itu sendiri atau suatu keinginan untuk suatu perilaku, untuk mengungkapkan suatu perasaan, untuk memberi nama kepada suatu benda. Dalam bentuknya, kata-kata yang diucapkan itu terdiri dari konsonan-konsonan yang mudah dilafalkan seperti m,p,s,k dan vokal-vokal seperti a,i,u,e.

2.3 Tahap Dua-Kata, Satu Frase

Tahap ini berlangsung ketika anak berusia 18-20 bulan. Ujaran-ujaran yang terdiri atas dua kata mulai muncul seperti mama mam dan papa ikut. Kalau pada tahap holofrastis ujaran yang diucapkan si anak belum tentu dapat ditentukan makna, pada tahap dua kata ini, ujaran si anak harus ditafsirkan sesuai dengan konteksnya. Pada tahap ini pula anak sudah mulai berpikir secara “subjek + predikat” meskipun hubungan-hubungan seperti infleksi, kata ganti orang dan jamak belum dapat digunakan. Dalam pikiran anak itu, subjek + predikat dapat terdiri atas kata benda + kata benda, seperti “Ani mainan” yang berarti “Ani sedang bermain dengan mainan” atau kata sifat + kata benda, seperti “kotor patu” yang artinya “Sepatu ini kotor” dan sebagainya.

2.4 Ujaran Telegrafis

Pada usia 2 dan 3 tahun, anak mulai menghasilkan ujaran kata-ganda (multiple-word utterances) atau disebut juga ujaran telegrafis. Anak juga sudah mampu membentuk kalimat dan mengurutkan bentuk-bentuk itu dengan benar. Kosakata anak berkembang dengan pesat mencapai beratus-ratus kata dan cara pengucapan kata-kata semakin mirip dengan bahasa orang dewasa. Contoh dalam tahap ini diberikan oleh Fromkin dan Rodman.

“Cat stand up table” (Kucing berdiri di atas meja);

What that?” (Apa itu?);

He play little tune” (dia memainkan lagu pendek);

Andrew want that” (Saya, yang bernama Andrew, menginginkan itu);

No sit here” (Jangan duduk di sini!)

Pada usia dini dan seterusnya, seorang anak belajar B1-nya secara bertahap dengan caranya sendiri. Ada teori yang mengatakan bahwa seorang anak dari usia dini belajar bahasa dengan cara menirukan. Namun, Fromkin dan Rodman (1993:403) menyebutkan hasil peniruan yang dilakukan oleh si anak tidak akan sama seperti yang diinginkan oleh orang dewasa. Jika orang dewasa meminta sang anak untuk menyebutkan “He’s going out”, si anak akan melafalkan dengan “He go out”. Ada lagi teori yang mengatakan bahwa seorang anak belajar dengan cara penguatan (reinforcement), artinya kalau seorang anak belajar ujaran-ujaran yang benar, ia mendapat penguatan dalam bentuk pujian, misalnya bagus, pandai, dsb. Akan tetapi, jika ujaran-ujarannya salah, ia mendapat “penguatan negatif”, misalnya lagi, salah, tidak baik. Pandangan ini berasumsi bahwa anak itu harus terus menerus diperbaiki bahasanya kalau salah dan dipuji jika ujarannya itu benar.

Teori ini tampaknya belum dapat diterima seratus persen oleh para ahli psikologi dan ahli psikolinguistik. Yang benar ialah seorang anak membentuk aturan-aturan dan menyusun tata bahasa sendiri. Tidak semua anak menunjukkan kemajuan-kemajuan yang sama meskipun semuanya menunjukkan kemajuan-kemajuan yang reguler.

Selain tahap pemerolehan bahasa yang disebutkan di atas, ada juga para ahli bahasa seperti Aitchison mengemukakan beberapa tahap pemerolehan bahasa anak.

Tahap 1: Mendengkur

Tahap ini mulai berlangsung pada anak usia sekitar enam minggu. Bunyi yang dihasilkan mirip dengan vokal tetapi tidak sama dengan bunyi vokal orang dewasa.

Tahap 2: Meraban

Tahap ini berlangsung ketika usia anak mendekati enam bulan. Tahap meraban merupakan pelatihan bagi alat-alat ucap. Vokal dan konsonan dihasilkan secara serentak.

Tahap 3: Pola intonasi

Anak mulai menirukan pola-pola intonasi. Tuturan yang dihasilkan mirip dengan yang diucapkan ibunya.

Tahap 4: Tuturan satu kata

Pada umur satu tahun sampai delapan belas bulan anak mulai mengucapkan tuturan satu kata. Pada usia ini anak memperoleh sekitar lima belas kata meliputi nama orang, binatang, dan lain-lain.

Tahap 5: Tuturan dua kata

Umumnya pada usia dua setengah tahun anak sudah menguasai beberapa ratus kata. Tuturan hanya terdiri atas dua kata.

Tahap 6: Infleksi kata

Kata-kata yang dianggap remeh dan infleksi mulai digunakan. Dalam bahasa Indonesia yang tidak mengenal istilah infleksi, mungkin berwujud pemerolehan bentuk-bentuk derivasi, misalnya kata kerja yang mengandung awalan atau akhiran.

Tahap 7: Bentuk Tanya dan bentuk ingkar

Anak mulai memperoleh kalimat tanya dengan kata tanya seperti apa, siapa, kapan, dan sebagainya. Di samping itu anak juga sudah mengenal bentuk ingkar.

Tahap 8: Konstruksi yang jarang atau kompleks

Anak sudah mulai berusaha menafsirkan meskipun penafsirannya dilakukan secara keliru. Anak juga memperoleh kalimat dengan struktur yang rumit, seperti pemerolehan kalimat majemuk.

Tahap 9: Tuturan yang matang

Pada tahap ini anak sudah dapat menghasilkan kalimat-kalimat seperti orang dewasa.

Proses Perkembangan Bahasa Anak

1. Fonologi

Anak menggunakan bunyi-bunyi yang telah dipelajarinya dengan bunyi-bunyi yang belum dipelajari, misalnya menggantikan bunyi /l/ yang sudah dipelajari dengan bunyi /r/ yang belum dipelajari. Pada akhir periode berceloteh, anak sudah mampu mengendalikan intonasi, modulasi nada, dan kontur bahasa yang dipelajarinya.

2. Morfologi

Pada usia 3 tahun anak sudah membentuk beberapa morfem yang menunjukkan fungsi gramatikal nomina dan verba yang digunakan. Kesalahan gramatika sering terjadi pada tahap ini karena anak masih berusaha mengatakan apa yang ingin dia sampaikan. Anak terus memperbaiki bahasanya sampai usia sepuluh tahun.

3. Sintaksis

Alamsyah (2007:21) menyebutkan bahwa anak-anak mengembangkan tingkat gramatikal kalimat yang dihasilkan melalui beberapa tahap, yaitu melalui peniruan, melalui penggolongan morfem, dan melalui penyusunan dengan cara menempatkan kata-kata secara bersama-sama untuk membentuk kalimat.

4. Semantik

Anak menggunakan kata-kata tertentu berdasarkan kesamaan gerak, ukuran, dan bentuk. Misalnya, anak sudah mengetahui makna kata jam. Awalnya anak hanya mengacu pada jam tangan orang tuanya, namun kemudian dia memakai kata tersebut untuk semua jenis jam.

4. Teori-teori tentang Pemerolehan Bahasa Pertama

4.1 Teori Behaviorisme

Teori behaviorisme menyoroti aspek perilaku kebahasaan yang dapat diamati langsung dan hubungan antara rangsangan (stimulus) dan reaksi (response). Perilaku bahasa yang efektif adalah membuat reaksi yang tepat terhadap rangsangan. Reaksi ini akan menjadi suatu kebiasaan jika reaksi tersebut dibenarkan. Dengan demikian, anak belajar bahasa pertamanya.

Sebagai contoh, seorang anak mengucapkan bilangkali untuk barangkali. Sudah pasti si anak akan dikritik oleh ibunya atau siapa saja yang mendengar kata tersebut. Apabila sutu ketika si anak mengucapkan barangkali dengan tepat, dia tidak mendapat kritikan karena pengucapannya sudah benar. Situasi seperti inilah yang dinamakan membuat reaksi yang tepat terhadap rangsangan dan merupakan hal yang pokok bagi pemerolehan bahasa pertama.

B.F. Skinner adalah tokoh aliran behaviorisme. Dia menulis buku Verbal Behavior (1957) yang digunakan sebagai rujukan bagi pengikut aliran ini. Menurut aliran ini, belajar merupakan hasil faktor eksternal yang dikenakan kepada suatu organisme. Menurut Skinner, perilaku kebahasaan sama dengan perilaku yang lain, dikontrol oleh konsekuensinya. Apabila suatu usaha menyenangkan, perilaku itu akan terus dikerjakan. Sebaliknya, apabila tidak menguntungkan, perilaku itu akan ditinggalkan. Singkatnya, apabila ada reinforcement yang cocok, perilaku akan berubah dan inilah yang disebut belajar.

Namun demikian, banyak kritikan terhadap aliran ini. Chomsky mengatakan bahwa toeri yang berlandaskan conditioning dan reinforcement tidak bisa menjelaskan kalimat-kalimat baru yang diucapkan untuk pertama kali dan inilah yang kita kerjakan tiap hari. Bower dan Hilgard juga menentang aliran ini dengan mengatakan bahwa penelitian mutakhir tidak mendukung aliran ini.

Aliran behaviorisme mengatakan bahwa semua ilmu dapat disederhanakan menjadi hubungan stimulus-response. Hal tersebut tidaklah benar karena tidak semua perilaku berasal dari stimulus-response.

4.2 Teori Nativisme

Chomsky merupakan penganut nativisme. Menurutnya, bahasa hanya dapat dikuasai oleh manusia, binatang tidak mungkin dapat menguasai bahasa manusia. Pendapat Chomsky didasarkan pada beberapa asumsi. Pertama, perilaku berbahasa adalah sesuatu yang diturunkan (genetik), setiap bahasa memiliki pola perkembangan yang sama (merupakan sesuatu yang universal), dan lingkungan memiliki peran kecil di dalam proses pematangan bahasa. Kedua, bahasa dapat dikuasai dalam waktu yang relatif singkat. Ketiga, lingkungan bahasa anak tidak dapat menyediakan data yang cukup bagi penguasaan tata bahasa yang rumit dari orang dewasa.

Menurut aliran ini, bahasa adalah sesuatu yang kompleks dan rumit sehingga mustahil dapat dikuasai dalam waktu yang singkat melalui “peniruan”. Nativisme juga percaya bahwa setiap manusia yang lahir sudah dibekali dengan suatu alat untuk memperoleh bahasa (language acquisition device, disingkat LAD). Mengenai bahasa apa yang akan diperoleh anak bergantung pada bahasa yang digunakan oleh masyarakat sekitar. Sebagai contoh, seorang anak yang dibesarkan di lingkungan Amerika sudah pasti bahasa Inggris menjadi bahasa pertamanya.

Semua anak yang normal dapat belajar bahasa apa saja yang digunakan oleh masyarakat sekitar. Apabila diasingkan sejak lahir, anak ini tidak memperoleh bahasa. Dengan kata lain, LAD tidak mendapat “makanan” sebagaimana biasanya sehingga alat ini tidak bisa mendapat bahasa pertama sebagaimana lazimnya seperti anak yang dipelihara oleh srigala (Baradja, 1990:33).

Tanpa LAD, tidak mungkin seorang anak dapat menguasai bahasa dalam waktu singkat dan bisa menguasai sistem bahasa yang rumit. LAD juga memungkinkan seorang anak dapat membedakan bunyi bahasa dan bukan bunyi bahasa.

4.3 Teori Kognitivisme

Menurut teori ini, bahasa bukanlah suatu ciri alamiah yang terpisah, melainkan salah satu di antara beberapa kemampuan yang berasal dari kematangan kognitif. Bahasa distrukturi oleh nalar. Perkembangan bahasa harus berlandaskan pada perubahan yang lebih mendasar dan lebih umum di dalam kognisi. Jadi, urutan-urutan perkembangan kognitif menentukan urutan perkembangan bahasa (Chaer, 2003:223). Hal ini tentu saja berbeda dengan pendapat Chomsky yang menyatakan bahwa mekanisme umum dari perkembangan kognitif tidak dapat menjelaskan struktur bahasa yang kompleks, abstrak, dan khas. Begitu juga dengan lingkungan berbahasa. Bahasa harus diperoleh secara alamiah.

Menurut teori kognitivisme, yang paling utama harus dicapai adalah perkembangan kognitif, barulah pengetahuan dapat keluar dalam bentuk keterampilan berbahasa. Dari lahir sampai 18 bulan, bahasa dianggap belum ada. Anak hanya memahami dunia melalui indranya. Anak hanya mengenal benda yang dilihat secara langsung. Pada akhir usia satu tahun, anak sudah dapat mengerti bahwa benda memiliki sifat permanen sehingga anak mulai menggunakan simbol untuk mempresentasikan benda yang tidak hadir dihadapannya. Simbol ini kemudian berkembang menjadi kata-kata awal yang diucapkan anak.

4.4 Teori Interaksionisme

Teori interaksionisme beranggapan bahwa pemerolehan bahasa merupakan hasil interaksi antara kemampuan mental pembelajaran dan lingkungan bahasa. Pemerolehan bahasa itu berhubungan dengan adanya interaksi antara masukan “input” dan kemampuan internal yang dimiliki pembelajar. Setiap anak sudah memiliki LAD sejak lahir. Namun, tanpa ada masukan yang sesuai tidak mungkin anak dapat menguasai bahasa tertentu secara otomatis.

Sebenarnya, menurut hemat penulis, faktor intern dan ekstern dalam pemerolehan bahasa pertama oleh sang anak sangat mempengaruhi. Benar jika ada teori yang mengatakan bahwa kemampuan berbahasa si anak telah ada sejak lahir (telah ada LAD). Hal ini telah dibuktikan oleh berbagai penemuan seperti yang telah dilakukan oleh Howard Gardner. Dia mengatakan bahwa sejak lahir anak telah dibekali berbagai kecerdasan. Salah satu kecerdasan yang dimaksud adalah kecerdasan berbahasa (Campbel, dkk., 2006: 2-3). Akan tetapi, yang tidak dapat dilupakan adalah lingkungan juga faktor yang memperngaruhi kemampuan berbahasa si anak. Banyak penemuan yang telah membuktikan hal ini.

5. Kesimpulan

Pemerolehan bahasa pertama adalah proses penguasaan bahasa pertama oleh si anak. Selama penguasaan bahasa pertama ini, terdapat dua proses yang terlibat, yaitu proses kompetensi dan proses performansi. Kedua proses ini tentu saja diperoleh oleh anak secara tidak sadar.

Ada beberapa tahap yang dilalui oleh sang anak selama memperoleh bahasa pertama. Tahap yang dimaksud adalah vokalisasi bunyi, tahap satu-kata atau holofrastis, tahap dua-kata, tahap dua-kata, ujaran telegrafis. Selain tahap pemerolehan bahsa seperti yang telah disebutkan ini, ada juga para ahli bahasa, seperti Aitchison mengemukakan beberapa tahap pemerolehan bahasa anak. Tahap-tahap yang dia maksud adalah mendengkur, meraban, pola intonasi, tuturan satu kata, tuturan dua kata, infleksi kata, bentuk tanya dan bentuk ingkar, konstruksi yang jarang atau kompleks, tuturan yang matang. Meskipun terjadi perbedaan dalam hal pembagian tahap-tahap yang dilalui oleh anak saat memperoleh bahasa pertamanya, jika dilihat secara cermat, pembahasan dalam setiap tahap pemerolehan bahasa pertama anak memiliki kesamaan, yaitu adanya proses fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, pragmatik.

Bagaimana sebenarnya proses pemerolehan bahasa pertama ini? Ada beberapa teori pemerolehan bahasa yang menjelaskan hal ini, yaitu teori behaviorisme, nativisme, kognitivisme, interaksionisme. Keempat teori ini memiliki sudut pandang yang berbeda dalam menjelaskan perihal cara anak memperoleh bahasa pertamanya.

Daftar Pustaka

Alamsyah, Teuku. 1997. Pemerolehan Bahasa Kedua (Second Language Acqusition). Diktat Kuliah Program S-2. Banda Aceh: Universitas Syiah Kuala.

Baradja, M.F. 1990. Kapita Selekta Pengajaran Bahasa. Malang: IKIP

Campbel, dkk. 2006. Metode Praktis Pembelajaran Berbasis Multiple Intelligences. Depok: Intuisi Press.

Chaer, Abdul. 2003. Psikolinguistik:Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.

Dardjowidjojo, Soenjono. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor.

Fromkin Victoria dan Robert Rodman. 1993. An Introduction to Language. Florida: Harcourt Brace Jovanovich Collage.

Mahmud, Saifuddin dan Sa’adiah. 1997. Teori Pembelajaran Bahasa: Materi Kuliah Program Setara D-3. Banda Aceh: FKIP Unsyiah.

Mar’at, Samsunuwiyati. 2005. Psikolinguistik Suatu Pengantar. Bandung: PT Refika Aditama.

Saturday, August 8, 2009

Teori Behavioris

Di antara tokoh-tokoh mazhab behavioris yang terpengaruh dalam pembentukan teori pembelajaran ialah Pavlov, Thorndike dan Skinner. Mereka berpendapat pembelajaran adalah berkaitan dengan perubahan tingkah laku. Kebanyakan teori pembelajaran mereka adalah dihasilkan daripada pemerhatian dan ujian ke atas haiwan seperti anjing, tikus, kucing dan burung dalam keadaan bilik makmal. Ujian mereka ditumpukan kepada tingkah laku. Menurut mereka, tingkah laku pelajar boleh diperhatikan dikawal dan diramal. Mereka menekankan bahawa perkaitan gerak balas individu dengan rangsangan adalah sesuatu proses pembelajaran, demi membentuk sesuatu tingkah laku yang baru. Oleh itu, teori pembelajaran ini pula disebut sebagai Teori Rangsangan – Gerak Balas.


Tokoh 1: Ivan Pavlov (1849 – 1936)


Tokoh Teori Pelaziman Klasik Pavlov

Menurut Pavlov, setiap rangsangan akan menimbulkan gerak balas. Gerak balas bermaksud apa-apa sahaja tingkah laku yang timbul akibat sesuatu rangsangan. Rangsangan pula ialah apa-apa sahaja bentuk tenaga yang menimbulkan gerak balas.

Dalam eksperimen Pavlov, beliau menggunakan seekor anjing untuk melihat perkaitan antara rangsangan dan gerak balas.

Hasil daripada kajiannya, Pavlov berpendapat bahawa pembelajaran boleh berlaku akibat kaitan antara rangsangan dengan gerak balas. Pembelajaran yang berlaku melalui perkaitan tersebut dinamakan pelaziman dan pembelajaran yang berlaku akibat rangsangan ini dikenali sebagai pelaziman klasik.

Di dalam kajian-kajian pelaziman sepanjang tempoh masa selama hampir 30 tahun, Pavlov mengenal pasti fenomena-fenomena tingkah laku pelaziman. Di antaranya ialah fenomena generalisasi, fenomena diskriminasi, dan fenomena penghapusan.

  • Fenomena generalisasi

Generalisasi bermaksud rangsangan yang sama akan menghasilkan tindak balas yang sama.

  • Fenomena diskriminasi

Diskriminasi berlaku apabila individu bertindak balas terhadap sesuatu rangsangan yang tertentu sahaja dan tidak ada rangsangan yang lain.

  • Fenomena penghapusan

Penghapusan berlaku apabila rangsangan terlazim yang tidak disertai dengan rangsangan tidak terlazim.


Implikasi Teori Pavlov ke atas Pengajaran dan Pembelajaran

Guru perlu sedar bahawa;

  • Kaitan antara rangsangan dengan gerak balas boleh dilazimkan atau dipelajari.
  • Kaitan antara rangsangan dengan gerak balas dapat diperkukuhkan melalui latihan. Semakin kerap rangsangan itu dikaitkan dengan sesuatu gerak balas, semakin kukuh gerak balas terlazim itu.
  • Motivasi memainkan dalam pembelajaran.


Tokoh 2: J. B. Watson (1878 - 1958)

Tokoh Teori Pelaziman Tingkah Laku

Kajian Watson banyak dipengaruhi oleh Teori Pelaziman Klasik Pavlov. Antara kajian beliau ialah kajian tentang emosi kanak-kanak dengan menggunakan Model Pelaziman Klasik.

Mengikut Watson, tingkah laku manusia ialah sesuatu refleks terlazim (conditioned reflex), iaitu sesuatu gerak balas yang dipelajari melalui proses pelaziman klasik. Dengan perkataan lain, semua pembelajaran adalah pelaziman klasik Watson berpendapat gerakan-gerakan refleks yang mudah seperti bersin apabila hidung gatal adalah sebagai gerakan yang berlaku secara semula jadi, adalah tingkah laku yang diwarisi dan tidak perlu dipelajari.

Watson menjelaskan jenis pembelajaran ini yang dapat jaya berlaku adalah berdasarkan kepada dua prinsip yang utama, iaitu;


  • Prinsip Kekerapan yang menyatakan bahawa lebih kerap gerak balas terhadap rangsangan tertentu berlaku, lebih besar kemungkinan gerak balas yang sama akan berlaku apabila rangsangan itu wujud semula pada masa kelak.
  • Prinsip Tempoh Kebaruan yang menyatakan bahawa semakin tempoh lebih baru kita menggunakan sesuatu gerak balas terhadap sesuatu rangsangan, semakin lebih besar kemungkinan kita akan bergerak balas secara serupa terhadap rangsangan itu, jika ia dimuncul lagi.

Watson berpendapat cara bagaimana pembelajaran berlaku boleh dihuraikan dengan menggunakan proses pelaziman klasik dan prinsip di atas.

Berdasarkan penyelidikannya, Watson menyarankan bahawa guru boleh mempengaruhi pengalaman pembelajaran pelajar dengan menggunakan rangsangan yang akan didedahkan kepadanya dan jenis gerak balas yang akan dihuraikan. Dengan menggabungkan beberapa rangsangan, gerak balas tertentu dapat dikaitkan dengan pelbagai situasi. Dalam proses pengajaran, guru haruslah sentiasa memilih rangsangan yang menyeronokkan.


Implikasi Teori J.B. Watson terhadap Pengajaran dan Pembelajaran

  • Prinsip kekerapan membawa implikasi bahawa pelajar perlu memahami dan mengulangkaji setiap tajuk dalam sesuatu mata pelajaran dengan kerap. Ini akan menjamin kebolehan pelajar untuk mengingat kembali konsep-konsep pelajaran dengan mudah.
  • Prinsip kebaruan iaitu setiap pelajar perlu membuat ulangkaji pelajaran dengan sempurna sebelum menempuh peperiksaan.
  • Minat pelajar boleh ditimbulkan atau dihapuskan. Guru yang mengajar dengan pelbagai alat bantu mengajar dan mengelola pelbagai jenis aktiviti akan dapat menimbulkan minat pelajar terhadap proses pengajaran.


Tokoh 3: Edward L. Thorndike (1874- 1949)

Tokoh Teori Pelaziman Operan Thorndike

Teori Pelaziman Operan Thorndike juga dikenali sebagai teori cuba-ralat. Edward L. adalah tokoh yang mengemukakan teori cuba-ralat.


Melalui eksperimen yang dijalankan olehnya, Thorndike berpendapat bahawa pembelajaran berlaku hasil daripada gabungan antara S-R, iaitu stimulus (rangsangan) dan response (gerak balas). Thorndike menyarankan bahawa pembelajaran manusia dikawal oleh hukum tertentu, yang disebut sebagai hukum pembelajaran. Hukum-hukum pembelajaran ini dapat dibahagikan kepada tiga iaitu Hukum Kesediaan, Hukum Latihan dan Hukum Kesan.


  • Hukum Kesediaan

Menurut Thordike, hukum kesediaan merujuk kepada kesediaan dan persiapan-persiapan yang perlu ada, sebelum individu itu bertindak, iaitu belajar. Kesediaan dapat dilihat dari tiga aspek yang utama iaitu kesediaan psikomotor, kesediaan afektif dan kesediaan kognitif.

  • Hukum Latihan

Menurut Thorndike, perkaitan antara rangsangan dan gerak balas (R-G) akan bertambah kukuh melalui latihan yang diulang-ulang. Seseorang individu akan menguasai kemahiran jika latihan diadakan. Hukum latihan menyatakan bahawa sesuatu tingkah laku akan diteguhkan melalui aplikasi dan akan dilemahkan tanpa pengukuhan.

  • Hukum Kesan

Hukum kesan menyatakan bahawa jika sesuatu tindakan diikuti oleh sesuatu perubahan persekitaran yang menyeronokkan, kebarangkalian tindakan itu berlaku akan meningkat dan sebaliknya. Selepas gerak balas terhasil, pertalian antara rangsangan dan gerak balas akan bertambah kukuh, jika terdapat kesan yang menyeronokkan. Kesan yang menyakitkan akan melemahkan pertalian antara R-G.



Implikasi Teori Thorndike ke atas Pengajaran dan Pembelajaran

  • Untuk mempelajari tingkah laku, rangsangan perlu diwujudkan. Guru perlu menyediakan pelbagai sumber pengajaran-pembelajaran yang menarik dan mengagumkan agar proses pembelajaran yang berkesan boleh berlaku.
  • Konsep hukum kesediaan boleh diperluas untuk digunakan di dalam bilik darjah. Seseorang pelajar perlu bersedia dari segi mental, minat dan sikap dan psikomotor sebelum pembelajaran berkesan dapat berlaku.
  • Latihan dan pengulangan akan meningkatkan keberkesanan pembelajaran. Ia juga boleh meningkatkan kemahiran dan ingatan pelajar.



RUJUKAN

Ee Ah Meng (2003). Ilmu Pendidikan: Pengetahuan dan Ketrampilan Ikhtisas. Selangor:

Penerbit Fajar Bakti Sdn. Bhd.

Mok Soon Sang (2008). Murid dan Alam Belajar. Selangor: Penerbit Multimedia Sdn.

Bhd.

http://peoplelearn.homestead.com/psychlearncontent2d.html

http://www.sabah.edu.my/skpmtdon/notes/Teori%/20&%20Model%20P&P.pdf

http://elearning-po.unp.ac.id/index.php?option=com_content&view&id=133&Itemid=233

Permainan Galah Panjang

Permainan Tradisional
Masyarakat Melayu mempunyai pelbagai jenis kebudayaan yang digarap daripada pelbagai keturunan. Kebudayaan ini disatukan menjadi satu kebudayaan yang unik kerana hampir setiap keturunan mempunyai adat sehingga membentuk kebudayaan Melayu. Ini termasuklah suka bergotong-royong menjalankan kegiatan ekonomi, di mana ikatan itu terus diperkukuh dan dipererat dengan acara-acara keramaian dan juga hiburan. Lantaran resam yang demikian maka banyak permainan tradisional yang dipertandingkan.

Permainan tradisional telah berupaya membentuk sebahagian daripada kehidupan yang dilalui oleh nenek moyang kita. Asas penting yang menjamin kesinambungan permainan tradisional pada masa lalu ialah keseragaman cara hidup nenek moyang kita. Kegiatan harian, bermusim dan tahunan daripada individu ke individu tidak banyak berbeza. Ini membolehkan mereka bekerja dan berhibur pada masa yang sama. Malah sejak dari kecil lagi mereka membiasakan diri dengan keadaan yang demikian. Apabila musim menuai padi berakhir dan musim tengkujuh tiba pesawah dan nelayan mengisinya dengan kerja-kerja sampingan. Kerja-kerja demikian boleh ditangguhkan dengan mudah. Tempoh peralihan antara musim inilah digunakan untuk mengadakan keramaian serta pesta.

Apabila sesuatu permainan diadakan di sesebuah kampung, penduduk kampung berdekatan turut berkunjung untuk mengambil bahagian atau sekadar memberi semangat. Suasana pesta di padang permainan boleh mewujudkan interaksi sosial di antara kampung-kampung yang mengambil bahagian. Oleh yang demikian permainan tradisional juga dikenali sebagai permainan rakyat. Ada di antara permainan ini yang sekarang tidak dimainkan lagi tetapi hanya diketahui oleh ibu bapa dan datuk nenek kita sahaja. Tetapi ada juga yang masih dimainkan lagi oleh kanak-kanak sehingga hari ini. Di antara permainan itu termasuklah guli, congkak, wau, selambut, sepak raga, gasing dan lain-lain.

Permainan Galah Panjang
Permainan tradisional yang dimainkan diluar rumah. Permainan ini bukan sahaja dimainkan oleh kanak-kanak sahaja tetapi sebagai pertunjukan di pesta-pesta kebudayaan kadangkala dipertontonkan untuk pelancong oleh golongan dewasa.

Permainan ini tidak dimainkan secara individu, tetapi dengan dua kumpulan. Terdiri dari kumpulan penyerang dan kumpulan bertahan. Setiap kumpulan mempunyai pemain tidak kurang dari seramai empat orang dan kebiasaannya terdiri dari sepuluh pemain sahaja.

Salah seorang dari ahli kumpulan itu akan dilantik sebagai ketua dan lainnya adalah sebagai awak-awak sahaja. Tugas ketua kumpulan adalah sebagai mengawasi setiap penyerang yang masuk dan keluar dari gelanggang, iaitu disepanjang garisan permulaan, garisan tengah dan garisan disekeliling gelanggang. Manakala awak-awak hanya menjaga garisan melintang di dalam gelanggang.

Sebelum permainan dimulakan undian secara wan tu som dijalankan oleh kedua-dua ketua pasukan. Siapa yang menang akan menjadi pasukan penyerang. Penetapan pengiraan bertukar giliran akan ditentukan terlebih dahulu, samada hanya dengan cuitan ke badan pemain atau dengan menangkap pemain.

Gelanggang Permainan
Kawasan permainan yang sederhana luas diperlukan, samada di atas tanah, kawasan bertar atau bersimin dan di atas padang. Tiada ukuran khas penetapan yang perlu dipatuhi, tetapi dianggarkan antara enam hingga lapan meter lebar dan jarak bagi setiap garisan lintang gelanggang antara tiga hingga empat meter. Jumlah garisan lintang bagi awak-awak tidak terhad, ia mengikut jumlah pemain bagi setiap pasukan.

Sebagai penanda garisan, akan digunakan tepung atau tali jika dimainkan di atas padang. Cat juga boleh digunakan sekiranya gelanggang simin. Tetapi kebanyakan kanak-kanak akan melorekkan garisan tersebut di atas tanah sahaja.

Cara Bermain
Sejurus sebelum permainan dimulakan, ketua pasukan penyerang akan menepuk tangan ketua pasukan bertahan di petak kepala gelanggang. Ini menandakan permainan sudah dimulakan dan awak-awak boleh mula menyerang, samada secara individu atau beramai-ramai.

Setiap pemain hendaklah melepasi semua garisan hingga ke garisan belakang sekali dan kembali semula hingga ke garisan hadapan tanpa dapat dicuit oleh pasukan bertahan. Jika salah seorang dapat dicuit oleh pasukan bertahan maka pasukan itu dikira mati. Pertukaran kedudukan akan dilakukan iaitu pasukan yang bertahan akan jadi pasukan penyerang dan sebaliknya.

Peraturan Permainan
Kesemua pemain pasukan penyerang akan dikira mati jika salah seorang dari mereka dicuit oleh pemain pasukan bertahan.

Pemain pasukan penyerang tidak boleh berundur kebelakang setelah melepasi garisan gelanggang, ia dikira mati yang akan menyebabkan pertukaran kedudukan pasukan.

Pasukan penyerang dikira mati jika terdapat pemainnya terkeluar dari garisan gelanggang.

Pasukan penyerang dikira menang jika salah seorang dari pemainnya dapat melepasi kesemua garisan hingga kembali ke garisan permulaan. Satu mata diberikan kepada pasukan ini dan permainan akan dijalankan semula.

Mana-mana pasukan yang dapat mengumpul mata tertinggi akan dikira memenangi perlawan tersebut.

Friday, August 7, 2009

Bilik darjah PrasekoLah

Menurut Rohani Abdullah (2003), ruang dalam bilik darjah prasekolah seharusnya dibahagi kepada pusat pembelajaran tertentu bagi membolehkan;

  • Murid nampak lebih jelas pilihan ruang bai menjalankan aktiviti tertentu. Contohnya, pusat estetika dan daya kreatif bagi menjalankan aktiviti seni dan kraf.
  • Pusat tersebut boleh digunakan bagi mempamerkan dan menyimpan alatan yang bersesuaian. Contohnya, alat permainan blok disimpan di rak pusat manipulatif.
  • Murid-murid dapat memilih ruang kegemaran mereka semasa mereka menjalankan aktiviti bebas.
  • Bahan berkaitan yang mudah diambil dan disimpan oleh murid-murid. Ini menggalakkan kemahiran murid-murid bagi menyusun mengikut jenis, bentuk, warna dan sebagainya.

Pusat pembelajaran atau sudut yang perlu ada dalam sebuah bilik darjah prasekolah berdasarkan komponen pembelajaran ialah;

  • Pusat bahasa,
  • Pusat manipulatif,
  • Pusat drama atau main masak-masak.
  • Pusat seni dan kraf,
  • Pusat kognitif (sains dan matematik),
  • Pusat teknologi,
  • Pusat kerohanian dan moral, dan
  • Pusat perbualan awal.
Sekiranya guru mempunyai ruang bilik darjah yang besar, guru boleh menyediakan kesemua pusat tersebut. Jika tidak, memadailah guru menyediakan pusat-pusat yang penting sahaja.

Bacaan Mentalis / akaliah

Membaca senyap atau membaca dalam hati (silent reading) ialah kegiatan membaca yang melibatkan ingatan visual (visual memory) dan pengaktifan mata dan ingatan. Tujuan utama membaca jenis ini adalah untuk memperoleh informasi dan pemahaman. Membaca mentalis ialah kunci bagi segala ilmu pengetahuan. Membaca mentalis merupakan aktiviti membaca yang dapat menguasai sebahagian besar hidup kita. Dibandingkan dengan membaca nyaring, dapat dilakukan di mana-mana sahaja. Ketika kegiatan membaca dilakukan, orang lain tidak terganggu.

Dalam kehidupan yang sebenar, setiap anggota masyarakat membaca bahan-bahan yang sesuai dengan selera dan pilihan masing-masing. Ini dilakukan tanpa paksaan daripada mana-mana pihak. Membaca secara perseorangan menuntut selera masing-masing dan ini disebut sebagai personalized reading. Pengajaran membaca seperti ini merupakan satu falsafah pengajaran yang melibatkan satu pendekatan terhadap organisasi kelas. Berdasarkan konsep bahawa setiap kanak-kanak harus mencari, memilih, melangkah dan maju sendiri, program membaca perseorangan adalah satu strategi yang amat menarik. Hal ini dipercayai dapat memenuhi keperluan individu tersebut secara berkesan.

Biasanya, membaca dalam hati atau membaca senyap ini melibatkan dua jenis bacaan, iaitu membaca intensif dan membaca ekstensif. Kedua-duanya mempunyai ciri-ciri yang tersendiri.

Oleh itu, bacaan mentalis ialah bacaan yang disuarakan dalam hati atau menukarkan isi bacaan kepada maknanya tanpa mengeluarkan suara. Kelajuan bacaan mentalis lebih pantas daripada bacaan mekanis kerana beberapa perkara yang dilakukan dalam bacaan mekanis seperti nada suara, sebutan yang jelas dan sebagainya tidak diperlukan dalam bacaan mentalis. Bacaan mentalis ini dijalankan sesudah murid-murid mencapai kemahiran dan kecekapan bacaan mekanis.


Tujuan

(a) Untuk melatih murid-murid supaya boleh membaca dengan sendiri.

(b) Untuk melatih murid-murid supaya boleh membaca dan memahami apa yang dibacanya,

(c) Untuk melatih murid-murid membaca senyap dengan pantas.

(d) Dapat menggunakan kemahiran membaca senyap untuk mendapatkan pengetahuan.

(e) Dapat menggunakan kemahiran membaca mentalis untuk hiburan.


Aktiviti bacaan mentalis

(a) Bacaan ini adalah bacaan untuk kefahaman.

(b) Bahan-bahan yang diajar mestilah berperingkat-peringkat daripada bahan-bahan yang sedikit dan senang kepada bahan-bahan yang banyak dan susah.

(c) Guru memberi dan menentukan bahan bacaan. Semasa pelajaran dijalankan guru membantu dan memandu murid-murid yang lemah.

(d) Guru bersoal jawab dan membincangkan perkataan dan rangkai kata yang susah.

Langkah keselamatan di PrasekoLah

(i) Dapur
  • Pastikan wayar dan peralatan elektrik tidak boleh dicapai oleh kanak-kanak
  • Simpan mancis dan pemetik api di tempat yang selamat
  • Pasang penghadang keselamatan pada pintu dapur
  • Lap semua tumpahan cecair dan kesan-kesan minyak pada lantai

(ii) Ruang belajar

  • Susun perabot jauh dari tingkap
  • Pilih perabot yang selamat seperti bucu tidak tajam, stabil dan tidak berkaca

(iii) Bilik air

  • Pastikan lantai bilik air bersih dan tidak licin
  • Tutup bekas takungan air atau kolah mandi
  • Awasi kanak-kanak semasa berada di bilik air

(iv) Kawasan permainan

  • Ketinggian alat-alat permainan tidak melebihi 2.8 meter
  • Kedudukan alat-alat permainan mesti tidak kurang dari 4.2 meter di antara satu dengan yang lain
  • Pastikan tiada benda tajam yang menonjol
  • Permukaan di sekitar dan di bawah alat permainan perlu lembut dan tahan hentakan
  • Pastikan semua alat-alat permainan berada dalam keadaan selamat untuk digunakan serta berfungsi dengan baik